Lestarii

Rabu, 29 Juni 2022

Eksistensi Pecinta Alam (Existence of Environmentalist)

 Existence of Environmentalist

Pada zaman kini, eksistensi pecinta alam sebagai kumpulan orang yang memiliki “visi kerakyatan” mulai dipertanyakan. Mungkin bagi sebagian orang, Mapala nampaknya tidak identik dengan orang yang memiliki jiwa nasionalisme. Mapala hanya terlihat memprioritaskan kegiatan petualangannya. Mereka berlomba-lomba memperoleh “prestise” atau kebanggaan bagi nama organisasi, dengan mendaki gunung yang tertinggi, menelusuri gua yang terdalam, memanjat tebing yang terjal dan mengarungi sungai yang ekstrem. Wajar bila ada orang yang menilai bahwa Mapala sangat nyaman dengan kegiatan olahraga petualangannya.


Dalam Etika Lingkungan Hidup Universal disebutkan yaitu: “Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill nothing but time.” Yang artinya, tidak mengambil apapun kecuali gambar, tidak meninggalkan apapun kecuali jejak kaki dan tidak membunuh apapun kecuali waktu. Dalam Kode Etik Pecinta Alam Indonesia, disebutkan yaitu: Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, Pecinta Alam Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab kami kepada Tuhan, Bangsa, dan Tanah Air, Pecinta alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam sebagai makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sesuai dengan hakekat diatas, maka kami dengan kesadaran menyatakan : (1) Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya, (3) Mengabdi kepada bangsa dan tanah air, (4) Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya serta menghargai manusia dengan kerabatnya, (5) Berusaha mempererat tali persaudaraan antar pecinta alam sesuai azas pecinta alam, (6) Berusaha saling membantu serta saling menghargai pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan tanah air, (7) Selesai.


Berdasarkan Kode Etik Pecinta Alam dan terbitnya Surat Keputusan NKK, maka terjadi pergeseran sikap wujud nasionalisme Mapala. Dengan adanya NKK, perkumpulan mahasiswa termasuk organisasi Mapala tidak boleh terlibat dalam dunia politik. Dengan kode etik pecinta alam maka timbul suatu kesadaran untuk menjadikan Pecinta Alam sebagai aktivitas yang beretika, cerdas, manusiawi/humanis, pro-ekologis, patriotisme dan anti-rasial. Kegiatan Mapala saat ini, seperti olahraga petualangan, konservasi penyelamatan lingkungan dan mitigasi bencana masih dalam koridor kode etik pecinta alam.


Awalnya pecinta alam sangat identik dengan naik gunung. Seiring berkembangnya kegiatan kepecintaalaman serta kemampuan dasar yang dimiliki Mapala, organisasi Mapala terlibat langsung menjadi relawan dalam berbagai jenis bencana. Setelah itu, Mapala harus dibekali materi mitigasi bencana seperti pengetahuan dan aplikasi manajemen bencana agar keterampilan di lapangan meningkat. Peran organisasi Mapala adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota, seperti mengadakan materi manajemen risiko bencana bekerja sama dengan Basarnas dan Pemerintah Daerah setempat.


Berdasarkan kajian, sampai saat ini Mapala terbukti memiliki jiwa nasionalisme. Keberadaan Mapala yang menyebar di seluruh nusantara, seharusnya menjadi bibit potensial untuk menciptaan pesatuan dan kesatuan di kalangan generasi muda saat ini dan pada waktu mendatang. Mapala adalah orang yang sehat dan berjiwa bebas karena terbiasa mengeksplor dirinya dalam suasana alam bebas. Namun, kebebasan ini membutuhkan wadah yang tepat agar tidak menjadi anarkis. Hal ini merupakan tugas Institusi Kampus dan pemerintah untuk memfasilitasi dan mengawasi sepak terjang organisasi Mapala. Mapala mengekspresikan Belajar, Meneliti, dan Mengabdi (BMM) kepada bangsa dan tanah air, yang termaktub dalam Tri Dharma perguruan tinggi, dengan penyelamatan lingkungan hidup, menjadi relawan (mitigasi bencana), dan berprestasi dalam olahraga petualangan


Untuk informasi lebih lanjut mengenai pecinta alam, bisa diakses melalui channel youtube Rimbapala Kehutanan USU. Terima kasih

Penulis: Jesica Simanjuntak (Kutam)

Editor: Putri Armenia Urelia (Mrende)

Minggu, 05 Juni 2022

MITIGASI KONFLIK MANUSIA VS SATWA LIAR (Pongo tapanuliensis)

 

Mitigasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah tindakan mengurangi dampak bencana. Sedasngkan konflik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Konflik berasal dari kata kerja latin ‘configere’ yang artinya saling memukul.

Satwa liar yang sering berkonflik diantaranya adalah Orangutan. Konflik terjadi sebagai bentuk akibat beberapa faktor, peralihan lahan hutan menjadi kebun dan pemukiman maupun eksploitasi berlebihan terhadap sumber pakan satwa liar di alam

 A. Orangutan Sumatera

Orangutan sumatera (Pongo tapanuliensis) adalah spesies orangutan terlangka. Orangutan sumatra hidup dan endemik di Sumatra, sebuah pulau yang terletak di Indonesia. Tubuh mereka lebih kecil daripada orangutan kalimantan. Orangutan sumatra memiliki tinggi sekitar 4,6 kaki dan berat 200 pon. Hewan betina berukuran lebih kecil, dengan tinggi 3 kaki dan berat 100 pon. Lanskap Batangtoru secara administratif meliputi tiga kabupaten, yaitu tapanuli utara, tengah, dan selatan. Hutan diperkirakan sekitar 140.535 ha,yang meliputi hutan lindung (51,5%), cagar alam (6,2%), hutan produksi (5,3%), kawasan pemanfaatan lainnya.

B. Penyebab Konflik Serta Perburuan Satwa Liar 

Perburuan Orangutan yang sulit dihentikan dan diburu untuk diperdagangkan secara ilegal dan dijadikan hewan peliharaan sehingga Populasi mereka terancam punah. Orangutan tapanuli diperkirakan tersisa 577-760 individu dan hanya ditemukan di lanskap batangtoru. 

1. Penggunaan Lahan 

Masyarakat Tapanuli seperti desa luat lombang dan rambassiasur memanfaatkan Lanskap Batangtoru sebagai lahan pertanian dan pemukiman sampai sebatas cagar alam. Fungsi hutan dataran rendah berubah menjadi kawasan pemukiman, pertanian, dan kebun masyarakat. Perusakan habitat terjadi secara masif hingga ketersediaan jelajah, sumber pakan, dan pohon bersarang di hutan dataran rendah terbatas. Fenomena ini menyebabkan Orangutan pindah ke habitat yang lebih aman untuk menghindari perburuan dan konflik. 

2. Kerusakan hutan oleh Manusia 

Pertumbuhan penduduk menyebabkan perluasan pembukaan lahan dan peningkatan penebangan hutan seperti rotan, lateks, dan buah-buahan menyebabkan kerusakan hutan sehingga orangutan akan lebih sulit untuk menemukan pohon sarang karena akan menghadapi konflik atau diburu oleh manusia

C. Kerugian Yang Diderita/Dialami Satwa  

Orangutan dianggap sebagai hama, dan karenanya diburu oleh manusia. Di beberapa desa di lanskap batangtoru, orangutan yang memasuki ladang masyarakat diusir dan dibunuh karena konflik dengan manusia. 

Manusia  

1.      Orangutan sering mengunjungi buffer zone sebagai lahan yang dikelola oleh masyarakat, terutama di desa-desa sekitar seperti Dolok Sibual-buali. Orangutan sering datang ke lahan masyarakat selama musim durian untuk mencari makan. Orangutan  juga merusak dan memakan tanaman, seperti durian (durio zibethinus murray), petai (parkia speciosa hassk), dan aren (arenga pinnata merr). 

2.      Terdapat beberapa Orangutan membuat sarang di pohon durian di Desa Aek Batang Paya sehingga mengganggu aktivitas penduduk. 

D. Mitigasi Yang Dilakukan Serta Strategi jangka panjang 

            Program yang dilakukan adalah restorasi habitat, pembuatan penghalang, perlindungan  tanaman, pembangunan koridor, penegakan hukum, dan pembangunan ekonomi desa. Di sisi lain, pengayaan pohon sarang dan pakan alami di hutan produksi yang berbatasan dengan hutan konservasi terus ditingkatkan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di kabupaten Tapanuli Selatan. 

- Sedangkan Strategi jangka pendek 

Program yang dibutuhkan adalah pemberian kompensasi berupa hal yang dapat meningkatkan hasil dalam sistem agroforestri dengan jaminan dari masyarakat untuk menyerahkan tanamannya sebagai pohon makanan dan sarang Orangutan. 

Kompensasi yang diberikan kepada masyarakat dapat berupa: (i) bibit tanaman yang tidak dikonsumsi oleh orangutan, seperti kopi, kakao, dan salak, (ii) tanaman pupuk untuk meningkatkan produktivitas tanaman, (iii) mesin untuk membajak sawah dan lahan pertanian , (iv) pengetahuan dan penyuluhan untuk mengoptimalkan hasil panen, dan (v) pengembangan sumber ekonomi alternatif lainnya, seperti ekowisata desa dan perikanan. 


Demikianlah informasi mengenai mitigasi konflik manusia dan satwa liar, untuk informasi lainnya bisa anda temukan pada website blog Rimbapala Kehutanan USU.


Penulis: Marolop Febrianto Purba (Artok)

Editor: Putri Armenia Urelia (Mrende)


Ekspedisi Sekret Rimbapala Boras Pati

Kegiatan ini bertujuan untuk menambah wawasan, menjalin tali persaudaraan se MAPALA- SU untuk Anggota Muda RIMBAPALA Kehutanan USU. 1. Gempa...