Lestarii

Rabu, 15 Februari 2023

WILDLIFE AND HUMAN

 KONFLIK ANTARA SATWA LIAR DAN MANUSIA

Menurut UU No. 5 Tahun 1990, Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Seperti yang kita ketahui, saat ini banyak satwa liar yang terancam punah dikarenakan maraknya perburuan dan ekspoitasi hewan liar yang semena-mena. Tetapi dibalik itu semua, sudah banyak gerakan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah kepunahan satwa liar yang ada di alam bebas. Salah satu langkah pemerintah adalah pembuatan suaka marga satwa. Suaka marga satwa merupakan suatu kawasan yang digunakan untuk melindungi satwa-satwa yang terancam punah. 

Salah satu faktor yang mempengaruhi keanekaragaman satwa liar adalah habitat dari satwa liar tersebut. Ketersediaan habitat yang aman sangat dibutuhkan oleh satwa liar agar dapat hidup dengan nyaman. Kegiatan manusia yang membabat habis hutan yang dimana hutan tersebut merupakan habitat satwa liar dapat menyebabkan satwa liar mencari tempat tinggal yang baru. Hal tersebut menyebabkan konflik antara manusia dan satwa liar. Konflik antara manusia dan satwa liar merupakan salah satu ancaman yang mengakibatkan menurunnya populasi beberapa jenis satwa liar. Konflik melibatkan perebutan sumberdaya yang terbatas oleh manusia dan satwa liar pada suatu daerah yang menyebabkan kerugian bagi satwa liar atau manusia tersebut. 

Di Sumatera, salah satu kawasan yang pernah mengalami konflik adalah kawasan Resort Sei Lepan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser dan dahulunya merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Pada saat terjadi konflik, gajah masuk dan merusak ladang karet dan sawit masyarakat pada malam hari. Konflik juga pernah terjadi di kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu dan Kecamatan Peranap Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Dilaporkan gajah masuk ke dalam area perkebunan warga dan merusak pemukiman warga. Hal tersebut membuat kerugian yang besar bagi warga yang mempunyai perkebunan. 

Konflik antara manusia dengan satwa liar cenderung meningkat akhir-akhir ini. Apapun yang terjadi dan jenis satwaliar apapun yang terlibat, konflik manusia dan satwa liar merupakan permasalahan kompleks karena bukan hanya berhubungan dengan keselamatan manusia tetapi juga satwa itu sendiri. Rusaknya habitat alami satwa liar sering juga disebabkan oleh aktivitas manusia yang tamak menjadikan hutan sebagai lahan pertanian untuk kepentingan ekonomi. Pembukaan lahan hutan untuk kepentingan pembangunan demi peningkatan taraf kehidupan manusia telah menyebabkan populasi satwaliar yang semula berada di habitatnya atau hutan menjadi terpisah-pisah untuk mencari dan menempati habitat yang tersisa. Habitat yang tersisa ini biasanya berupa hutan dengan luasan yang relatif kecil dengan kondisi pakan yang tidak mendukung.

Semakin tinggi aktifitas manusia di sekitar kawasan hutan maka semakin meningkatnya laju kerusakan hutan yang menyebabkan habitat satwaliar menjadi sempit dan memaksa satwaliar untuk mencari ruang gerak baru sehingga sampai kepemukiman penduduk dan mengakibatkan konflik antara masyarakat dan satwa liar. Penurunan kualitas habitat satwa liar pada umumnya disebabkan oleh semakin menurunnya luasan areal hutan dan telah terfragmentasinya habitat satwaliar dan penggunaan lahan yang tidak didasarkan pada keutuhan ekosistem hutan. Penurunan kualitas habitat sampai saat ini masih terus berlangsung yang ditandai dengan semakin meningkatnya penebangan liar (illegal logging), perambahan hutan, konversi lahan hutan menjadi penggunaan areal-areal lain (seperti lahan pertanian dan perkebunan). 

Faktor lain yang menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan satwa liar juga disebabkan karena monyet ekor panjang dan babi hutan menemukan sumber pakan baru yang dekat dengan daerah yang dijelajahnya sehingga satwa liar tersebut cenderung bertahan di tempat yang banyak sumber pakannya. Selain itu monyet ekor panjang dan babi hutan menyukai daerah dataran rendah yang daerah tersebut banyak areal pertaniannya sehingga sumber pakannya lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Febriani (2009), yang menyatakan bahwa satwaliar (gajah) lebih menyukai hutan dataran rendah yang kini telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian karena saat ini hutan dataran rendah telah dikonversi masyarakat untuk dijadikan lahan pertanian yang menyediakan sumber pakan yang lebih banyak.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik satwa liar dan manusia telah dibuat. Contohnya pembuatan Barrier diprioritaskan pada lokus wilayah dengan mempertimbangkan efektifitas serta efisiensi penanganan secara lebih komprehensif berdasakan kajian dan analisis pakar, praktisi serta melalui proses koordinasi para pihak terkait. Penanganan jangka panjang dilakukan melalui pendekatan penyesuaian komoditi dengan jenis tanaman yang tidak disukai satwa liar khususnya pada wilayah rawan konflik dengan jenis tanaman seperti: jeruk nipis, jeruk lemon, pala, kemiri, dan kopi. Sebagai upaya antisipasi juga direncanakan akan dilakukan pemasangan GPS Collar pada kelompok Gajah liar yang terindikasi sering berkonflik dengan masyarakat, dalam upaya membangun sistem peringatan dini. Penanganan konflik satwa liar yang komfrehensif tersebut juga memiliki potensi menjadi objek daya tarik wisata berbasis edukasi dan konservasi. Saat ini Rencana pengembangan wisata alam tersebut telah diinisiasi oleh Pemkab Pidie dan Pemkab Bener Meriah.

Penulis: Rikson Silalahi (Siapor RDA)

Editor: Putri Armenia Urelia (Mrende RBS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ekspedisi Sekret Rimbapala Boras Pati

Kegiatan ini bertujuan untuk menambah wawasan, menjalin tali persaudaraan se MAPALA- SU untuk Anggota Muda RIMBAPALA Kehutanan USU. 1. Gempa...